Galungan adalah hari raya suci Hindu yang jatuh pada Buda Kliwon
Dungulan berdasarkan hitungan waktu bertemu sapta wara dan panca wara.
Umat Hindu dengan penuh rasa bhakti melaksanakan rangkaian hari raya
suci Galungan dan Kuningan dengan ritual keagamaan. [ Oleh : I Nyoman
Dayuh, (UNHI - Dps)]
Menurut lontar Purana Bali Dwipa disebutkan :
Menurut lontar Purana Bali Dwipa disebutkan :
“Punang aci galungan ika ngawit bu, ka, dungulan sasih kacatur tanggal 25, isaka 804, bangun indra bhuwana ikang bali rajya”.
Artinya:
“Perayaan hari raya suci Galungan pertama adalah pada hari Rabu
Kliwon, wuku Dungulan sasih kapat tanggal 15 (purnama) tahun 804 saka,
keadaan pulau Bali bagaikan lndra Loka”.
Mulai tahun saka inilah hari raya Galungan terus dilaksanakan,
kemudian tiba-tiba Galungan berhenti dirayakan entah dasar apa
pertimbangannya, itu terjadi pada tahun 1103 saka saat Raja Sri Eka Jaya
memegang tampuk pemerintahan sampai dengan pemerintahan Raja Sri
Dhanadi tahun 1126 saka Galungan tidak dirayakan. Dan akhirnya Galungan
baru dirayakan kembali pada saat Raja Sri Jaya Kasunu memerintah, merasa
heran kenapa raja dan para pejabat yang memerintah sebelumnya selalu
berumur pendek. Untuk mengetahui sebabnya beliau bersemedi dan
mendapatkan pawisik dari Dewi Durgha menjelaskan pada raja, leluhumya
selalu berumur pendek karena tidak merayakan Galungan, oleh karena itu
Dewi Durgha meminta kembali agar Galungan dirayakan kembali sesuai
dengan tradisi yang berlaku dan memasang penjor.
Macam – Macam Galungan
A. Galungan
Di dalam lontar Sundarigama menyebutkan pada Buda Kliwon wuku Dungulan disebut hari raya Galungan.
B. Galungan Nadi
Apabila Galungan jatuh pada bulan Purnama disebut Galungan Nadi, umat
Hindu melaksanakan tingkatan upacara yang lebih utama. Berdasarkan
Lontar Purana Bali Dwipa bahwa Galungan jatuh pada sasih kapat
(kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 saka Bali bagaikan lndra Loka
ini menandakan betapa meriahnya dan sucinya hari raya itu.
C. Galungan Naramangsa.
Dalam Lontar Sanghyang Aji Swamandala mengenai Galungan Naramangsa
disebutkan apabila Galungan jatuh pada Tilem Kapitu dan sasih Kasanga
rah 9, tengek 9, tidak dibenarkan merayakan hari raya Galungan dan
menghaturkan sesajen berisi tumpeng seyogyanya umat mengadakan caru
berisi nasi cacahan dicampur ubi keladi, bila melanggar akan diserbu
oleh Balagadabah.
Rangkaian Hari Raya Galungan dan Kuningan
Persiapan perayan hari raya Galungan dimulai sejak Tumpek Wariga
disebut juga Tumpek Bubuh, pada hari ini umat memohon kehadapan
Sanghyang Sangkara, Dewanya tumbuh tumbuhan agar Beliau menganugrahkan
supaya hasil pertanian meningkat. Setelah itu wrespati Sungsang adalah
hari Sugihan Jawa merupakan pensucian bhuwana agung dilaksanakan dengan
menghaturkan pesucian mererebu di Merajan, pekarangan, rumah serta
menyucikan alat-alat untuk hari raya Galungan. Besoknya Sukra Kliwon
Sungsang disebut hari Sugihan Bali, pada hari ini kita melaksanakan
penyucian bhuwana alit, mengheningkan pikiran agar hening, heneng dan
metirta gocara. Selanjutnya Redite Paing Dungulan disebut penyekeban.
Pada hari ini adalah hari turunnya Sang Kala Tiga Wisesa, maka pada
hari ini para wiku dan widnyana meningkatkan pengendalian diri (anyekung
adnyana). Besoknya Soma Pon Dungulan disebut penyajaan pada hari ini
tetap menguji keteguhan sebagai bukti kesungguhan melakukan peningkatan
kesucian diri seperti yoga semadi. Selanjutnya Anggara Wage Dungulan
disebut penampahan melakukan bhuta yadnya ring catur pate atau lebuh di
halaman rumah, agar tidak diganggu Sang Kala Tiga Wisesa. Besoknya Buda
Kliwon Dungulan disebut Hari Raya Galungan umat Hindu melakukan pemujaan
kepada Tuhan dengan segala manifestasi-Nya. Wrespati Umanis Dungulan
disebut Manis Galungan, umat saling kunjung-mengunjungi dan
maaf-memaafkan. Selanjutnya Saniscara Pon Dungulan disebut pemaridan
guru pada hari ini umat melaksanakan tirta gocara, Redite Wage Kuningan
disebut ulihan kembalinya Dewa dan Pitara kekahyangan.
Selanjutnya Soma Kliwon Kuningan disebut Pemacekan Agung Dewa beserta
pengiringnya kembali dan sampai ketempat masing-masing. Sukra Wage
Kuningan disebut Penampahan Kuningan adalah persiapan untuk menyambut
hari Raya Kuningan. Besoknya Saniscara Kliwon Kuningan hari Raya
Kuningan, pada hari ini umat Hindu memuja Tuhan dengan segala
manifestasinya. Upacara menghaturkan saji hendaknya.dilaksanakan jangan
sampai lewat tengah hari, mengapa ? Karena pada tengah hari para Dewata
diceritakan kembali ke swarga. Kemudian yang paling akhir dari rangkaian
hari raya Galungan yaitu Buda Kliwon Pahang disebut pegat uwakan akhir
dari pada melakukan peberatan Galungan sebagai pewarah Dewi Durga kepada
Sri Jaya Kasunu ditandai dengan mencabut penjor kemudian dibakar,
abunya dimasukkan kedalam bungkak gading ditanam di pekarangan.
Makna Hari Raya Galungan dan Kuningan
Dharma dan Adharma Pada hari raya suci Galungan dan Kuningan umat
Hindu secara ritual dan spiritual melaksanakannya dengan suasana hati
yang damai. Pada hakekatnya hari raya suci Galungan dan Kuningan yang
telah mengumandang di masyarakat adalah kemenangan dharma melawan
adharma. Artinya dalam konteks tersebut kita hendaknya mampu
instrospeksi diri siapa sesungguhnya jati diri kita, manusia yang
dikatakan dewa ya, manusa ya, bhuta ya itu akan selalu ada dalam
dirinya. Bagaimana cara menemukan hakekat dirinya yang sejati?, “matutur
ikang atma ri jatinya” (Sanghyang Atma sadar akan jati dirinya).
Hal ini hendaknya melalui proses pendakian spiritual menuju kesadaran
yang sejati, seperti halnya hari Raya Galungan dan Kuningan dari hari
pra hari H, hari H dan pasca hari H manusia bertahan dan tetap teguh
dengan kesucian hati digoda oleh Sang Kala Tiga Wisesa, musuh dalam
dirinya, di dalam upaya menegakkan dharma didalam dirinya maupun diluar
dirinya. Sifat-sifat adharma (bhuta) didalam dirinya dan diluar dirinya
disomya agar menjadi dharma (Dewa), sehingga dunia ini menjadi seimbang
(jagadhita). Dharma dan adharma, itu dua kenyataan yang berbeda (rwa
bhineda) yang selalu ada didunia, tapi hendaknyalah itu diseimbangkan
sehingga evolusi didunia bisa berjalan.
Kemenangan dharma atas adharma yang telah dirayakan setiap Galungan
dan Kuningan hendaknyalah diserap dan dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari. Dharma tidaklah hanya diwacanakan tapi dilaksanakan, dalam
kitab Sarasamuccaya (Sloka 43) disebutkan keutamaan dharma bagi orang
yang melaksanakannya yaitu :
“Kuneng sang hyang dharma, mahas midering sahana, ndatan umaku sira,
tan hanenakunira, tan sapa juga si lawanikang naha-nahan, tatan pahi
lawan anak ning stri lanji, ikang tankinawruhan bapanya, rupaning tan
hana umaku yanak, tan hana inakunya bapa, ri wetnyan durlaba ikang
wenang mulahakena dharma kalinganika”.
Artinya:
Adapun dharma itu, menyelusup dan mengelilingi seluruh yang ada,
tidak ada yang mengakui, pun tidak ada yang diakuinya, serta tidak ada
yang menegur atau terikat dengan sesuatu apapun, tidak ada bedanya
dengan anak seorang perempuan tuna susila, yang tidak dikenal siapa
bapaknya, rupa-rupanya tidak ada yang mengakui anak akan dia, pun tidak
ada yang diakui bapa olehnya, perumpamaan ini diambil sebab sesungguhnya
sangat sukar untuk dapat mengetahui dan melaksanakan dharma itu.
Di samping itu pula dharma sangatlah utama dan rahasia, hendaknyalah
ia dicari dengan ketulusan hati secara terus-menerus. Sarasamuccaya
(sloka 564) menyebutkan :
“Lawan ta waneh, atyanta ring gahana keta sanghyang dharma ngaranira,
paramasuksma, tan pahi lawan tapakning iwak ring wwai, ndan pinet juga
sire de sang pandita, kelan upasama pagwan kotsahan”.
Artinya:
Lagi pula terlampau amat mulia dharma itu, amat rahasia pula, tidak
bedanya dengan jejak ikan didalam air, namun dituntut juga oleh sang
pandita dengan ketenangan, kesabaran, keteguhan hati terus diusahakan.
Demikianlah keutamaan dharma hendaknyalah diketahui, dipahami
kemudian dilaksanakan sehingga menemukan siapa sesungguhnya jati diri
kita. (WHD No. 436 Juni 2003).
Sumber : Parisada Hindhu Dharma Indonesia.